Investasi

Profil Potensi Investasi Provinsi Sumatera Selatan

Gambaran Umum

Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya, pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri china Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.

Secara administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 10 (sepuluh) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, beserta perangkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan dan Desa / Kelurahan. Pemerintahan kabupaten / kota tersebut sebagai berikut :

Kab. Ogan Komering Ulu ( Ibukota Baturaja)

Kab. OKU Timur ( Ibukota Martapura )

Kab. OKU Selatan( Ibukota Muara Dua )

Kab. Ogan Komering Ilir ( Ibukota Kayu Agung )

Kab. Empat Lawang ( Ibukota Tebing Tinggi )

Kab. Muara Enim ( Ibukota Muara Enim )

Kab. Lahat ( Ibukota Lahat )

Kab. Musi Rawas ( Ibukota Lubuk Linggau )

Kab. Musi Banyuasin ( Ibukota Sekayu )

Kab. Banyuasin ( Ibukota Pangkalan Balai )

Kota Ogan Ilir ( Ibukota Indralaya)

Kota Palembang ( Ibukota Palembang )

Kota Pagar Alam ( Ibukota Pagar Alam )

Kota Lubuk Linggau ( Ibukota Lubuk Linggau )

Kota Prabumulih ( Ibukota Prabumulih )

Prasarana dan Infrastruktur

Prasarana dan Infrastruktur Prasarana penunjang di Sumatera Selatan relatif berkembang, walaupun hingga saat ini belum optimum. Pelabuhan walaupun belum dapat melayani secara maksimal tetapi mendapat dukungan dari beberapa pihak. Seperti PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) menyiapkan studi kelayakan pengembangan pelabuhan laut dan sungai di wilayah Sumatera Selatan. Kebutuhan dana untuk mewujudkan proyek ini diperkirakan menelan biaya hingga Rp 3 triliun.

Studi kelayakan diperkirakan selama enam bulan, sehingga diperkirakan proyek akan mulai dikerjakan pada 2010. Pengembangan proyek ini untuk mendukung angkutan batu bara di wilayah tersebut yang belum maksimal. Pasalnya, dengan hanya mengandalkan kereta api saja tidak dapat membawa banyak batu bara.

Dengan dikembangkannya proyek pengembangan pelabuhan dan memanfaatkan Sungai Musi diharapkan kapal-kapal dapat mengangkut batu bara lebih maksimal dan mempercepat angkutan batu bara ke luar wilayah Sumatera Selatan.

Sedangkan untuk kereta api, Sumatera Selatan mempunyai keunggulan dengan adanya jaringan rel yang sudah terbangun. Lintasan kereta di Sumatera Selatan pertama kali dibangun sepanjang 12 kilometer dari Panjang menuju Tanjungkarang, Lampung. Jalur rel ini mulai dilalui kereta, 3 Agustus 1914. Pada waktu bersamaan dilaksanakan juga pemasangan dan pembangunan lintasan rel dari Kertapati, menuju Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Sampai 1914, jalur rel lintas Kertapati hingga Prabumulih mencapai jarak 78 kilometer.

Perlahan, jalur rel kemudian dikembangkan untuk pengangkutan batu bara dari tempat penambangannya di Tanjung Enim. Kemudian dikembangkan juga jalur ke Lahat. Di Kota Lahat ada sebuah bengkel besar kereta (sekarang dinamakan Balai Yasa Lahat) yang berfungsi untuk perbaikan dan perawatan kereta api. Jalur-jalur yang terputus di Sumatera Selatan ini perlahan akhirnya bertemu.

Kini, panjang seluruh jalur rel yang dikelola PT Kereta Api Divisi Regional III Sumsel mencapai lebih dari 600 kilometer dengan 224 jembatan. Data di PT KA Divre III, jalur antara Tanjung Enim dan Tarahan panjangnya 411 kilometer. Kecepatan maksimum kereta untuk jalur ini adalah 90 kilometer per jam meskipun dengan kondisi rel dan kereta tidak memungkinkan mencapai kecepatan maksimal.

Sementara jalur Kertapati--Prabumulih mempunyai panjang 77,8 kilometer, Muaraenim--Lahat sepanjang 38,3 kilometer, dan Lahat-Lubuk Linggau sepanjang 117 kilometer. Sebagian besar masih memakai rel kecil tipe R25 dan R33, sedangkan 20 kilometer sudah menggunakan rel R41. Panjang rel dengan tipe R25 sekitar 70 kilometer.

Potensi Investasi

Energi

Sumber daya alam khususnya potensi energi primer yang terdapat di wilayah Sumatera Selatan merupakan daya tarik kuat bagi masuknya penanaman modal untuk meningkatkan perekonomian daerah. Hal ini didukung oleh letak Provinsi Sumatera Selatan diantara Pulau Jawa dan Singapura/Malaysia yang secara ekonomi sangat strategis.

Potensi sumber daya energi Sumatera Selatan seperti minyak bumi, gas bumi, batubara dan panas bumi terdapatnya tersebar dan berlimpah merupakan modal dasar dalam mewujudkan Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi khususnya melalui Pembangunan Ketenagalistrikan dan penyediaan energi bahan bakar dan industri.

Pembangunan Ketenagalistrikan di Sumatera Selatan melalui Pembangunan Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Listrik Tenaga Uap (PLTU) di mulut tambang dengan bahan bakar batubara nilai kalori rendah yang  potensinya berlimpah akan menjawab kelangkaan listrik di Jawa dan Sumatera yang saat ini dalam kondisi kritis selain untuk kebutuhan ekspor ke Malaysia dan pengembangan pemanfaatan BBG untuk industri, komersial dan rumah tangga serta transportasi yang relatif banyak.

Peluang Investasi

Sumatera Selatan mempunyai potensi alam yang cukup banyak dengan cadangan yang masih belum dikelola dan menuggu kedatangan para investor untuk mengelolahnya, pada saat ini beberapa peluang investasi yang di prioritaskan untuk ditawarkan adalah :

Minyak Bumi

Potensi minyak bumi di Sumatera Selatan mempunyai cadangan 5.034.082 MSTB Produksi ekploitasi pertamina dan mitranya selama 1998-2002 baru rata-rata 3.718.720 barrel perhari.

Gas Alam

Cadangan gas alam yang ditemukan di kabupaten Musi Banyuasin, Lahat, Musi Rawas dan Ogan Komering Ilir mencapai 7.238 BSCF. Produksi ekploitasi 4 tahun terakhir baru rata-rata 2.247.124 MMSCF. Gas alam ini dapat dijadikan bahan pembangkit tenaga listik, produk plastik dan pupuk.

Batubara

Cadangan batubara di Sumatera Selatan 18,13 milyar ton. Lokasi batubara terdapat di kabupaten Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan Musi Rawas. Mutu cadangan batubara pada umumnya berjenis lignit dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg.

Cadangan batubara tersebut baru dikelola PT Bukit Asam dan PT Bukit Kendi pada lokasi Kabupaten Muara Enim. Sedangkan cadangan sebanyak 13,07 Milyar Ton belum dikelolasama sekali.

Pembangkit Tenaga Listrik

Daya tampung saat ini 411,975 KW. Saat ini PLN masih defisit;lebih kurang ;90 Mega Watts. Kebutuhan setiap tahunmeningkat. Diprediksi tahu 2012 defisit PLN di Sumatera Selatanakan mencapai 291,91 Mega Watts.

Potensi Investasi Pangan

Sumatera Selatan sebagai salah satu Provinsi Lumbung Pangan, tidak terlepas dari tersedianya potensi sumber daya lahan yang cukup variatif, mulai dari lahan sawah irigasi, tadah hujan, rawa pasang surut, lebak dan lahan kering. Selain juga memiliki komoditas unggulan lain seperti jagung, kacang tanah, ubu kayu, ubi jalar, komoditas sayuran dan buah - buahan. Dari total produksi padi Sumatera Selatan tahun 2005 sebesar 2.320.110 ton gabah kering giling (GKG)1.466.310 ton, kontribusi terbesar diperoleh dari lahan sawah yaitu 2.148.182 ton GKG (92,6%). Dengan jumlah penduduk 6.755.900 jiwa dan konsumsi

beras per kapita/tahun sebesar 124 kg, serta kebutuhan lainnya, maka pada tahun 2005 Sumatera Selatan surplus beras sebanyak 484.088 ton.

Dengan optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya lahan yang tersedia secara keseluruhan melalui upaya peningkatan pelayanan jaringan irigasi dan rawa, penggunaan agroinput, peningkatan kemampuan petani mengakses modal perbankan dan pengembangan penggunaan alat mesin pertanian, maka kedepan Sumatera Selatan mampu meningkatkan produksi padi hingga 5 juta ton GKG atau setara beras 3 juta ton. Hal ini sangat tergantung kepada modal petani, investasi serta perbaikan infrastruktur jaringan irigasi dan drainase. Kesemuanya itu memerlukan dukungan dana yang cukup besar mencapai Rp. 3,3 Trilyun. Pertambahan produksi ini akan membuka kesempatan berusaha baru dan menambah pendapatan petani. Kegiatan ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.

Diharapkan melalui program akselarasi pembangunan pertaniandengan Program Sumatera Selatan Lumbung Pangan akan dapatmengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan peningkatanpendapatan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan.

Potensi Pengembangan Lahan Sawah

Luas lahan sawah yang perlu dikembangkan dan dipertahankan di Sumatera Selatan untuk mendukung Program Sumatera Selatan Lumbung Pangan seluas 752.150 Ha. Lahan seluas 238.974 Ha merupakan lahan yang sementara ini tidak diusahakan dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi sawah baru. Sedangkan pada lahan yang baru satu kali tanam (IP 100) seluas 399.521 Ha,yang dapat dikembangkan menjadi dua kali tanam (IP 200) seluas155.322 ha dengan dukungan kegiatan :

  1. Rehabilitasi Sarana Irigasi/Drainase;
  2. Irigasi/Drainase;
  3. Tata Air Mikro (TAM);
  4. Pengembangan Alsintan (Handtraktor, pompa air);
  5. Penggunaan Benih Unggul;
  6. Pemupukan;
  7. Penyuluhan dan Pendampingan.

Permasalahan dalam upaya pencapaian produksi tanaman terutama padi :

  1. Prasanara Transportasi
  2. Kredit Pertanian
  3. Penyuluhan Pertanian (BPP, PPL, Dana Operasi)
  4. Kelembagaan Petani & Perdesaan
  5. Pupuk Bersubsidi
  6. Irigasi & Rawa (jaringan, Tata Air Mikro), O & P

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan tanaman jagung meliputi belum cukup tersedianya pabrik pakan, jaminan pasar dengan harga layak dan terbatasnya alat penanganan pascapanen terutama dryer. Sedangkan untuk komoditi ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah permasalahan yang dihadapi terutama dalam hal pemasaran dan pengolahan pascapanen serta sulit untuk mendapatkan benih yang bermutu.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan komoditi sayuran :

  1. Teknologi produksi sayuran di tingkat petani pada umumnya masih tradisional, sehingga produktifitas dan kualitas produk relatif rendah.
  2. Penggunaan benih unggul bermutu, khususnya benih hibrida masih terbatas, karena harganya yang relatih mahal dan sulit dijangkau petani.
  3. Serangan berbagai organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada tanaman sayuran karena konsep PHT belum sepenuhnya dilaksanakan oleh petani.
  4. Kondisi harga sayuran di pasar yang sangat fluktuatif dan keadaan iklim/musim yang masih sulit diprediksi, teknologi serta modal yang masih terbatas di tingkat petani.
  5. Belum berkembangnya agroindustri.

 Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan komoditi buah-buahan:

  1. Masih tradisionalnya pengelolaan kebun campuran baik jenis maupun varietas serta kurangnya pemeliharaan.
  2. Tanaman buah-buahan yang ada sebagian besar merupakan tanaman tua dan kurang terpelihara baik dari segi teknologi budidaya maupun penanganan pascapanen.
  3. Terjadinya penurunan luas pertanaman karena tanaman tua dibongkar.
  4. Panen buah masih tergantung pada musin.
  5. Sarana pengairan yang kurang seperti sumur bor, mesin pompa.

Industri Hilir Karet

Sedangkan untuk pengembangan komoditas yang potensial dan spesifik di Sumatera Selatan adalah pengembangan industri hilir Karet di Kabupaten Banyuasin.

Luasnya perkebunan karet yang ada dikabupaten Banyuasin memberikan potensi investasi pada pengolahan hasil karet dan kayu karet. Produksi karet pada umumnya berupa Lump atau Ojol. Di Kabupaten Banyuasin tidak terdapat industri yang mengolah karet rakyat. Sehingga pabrik pengolahan karet yang memungkinkan untuk dibangun adalah pabrik Crumb Rubber.

Peningkatan produksi karet di Indonesia terjadi pada tahun 1990-an dimana terjadi peningkatan sebesar 3,5% pertahun. Peningkatan ini disebabkan karena terjadinya peningkatan konsumsi dengan semakinmeningkatnya kebutuhan untuk bahan baku industri barang jadi dari karet, menyusul investasi dari negara produsen ban (Jepang) dan sepat karet (Korea Selatan dan Taiwan) di Indonesia.

Perkembangan konsumsi karet alam cenderung mengalami peningkatan rata-rata 9% pertahun. Hai ini tentunya dapat menjadi pendorong untuk membangun industri Crumb Rubber di Kabupaten Banyuasin.

Peningkatan kebutuhan untuk bahan baku industri barang jadi dari karet diakibatkan investasi dari negara : Jepang (Produsen ban) dan Korea dan Taiwan (sepatu karet).

Kebutuhan karet alam dalam negeri cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 9% pertahun.

Luas lahan kebun karet

Swadaya : 113.653,00 Ha
UPP/Kimbun/PEK : 17.950,83 Ha
PBB : 89.334,58 Ha
PIR/KKPA : 27.562,45 Ha

Produksi Perkebunan

Pola swadaya : 59.232,17 Ton
UPP/Kimbun/PEK : 178.139,46 Ton
PIR/KKPA : 2.336,16 Ton

Lahan yang dibutuhkan kurang lebih 4.500 m2
Kebutuhan air kurang lebih mencapai 4.670 m3 / tahun
Kebutuhan listrik sekitar 80 kWh

Perkiraan Modal Investasi

Modal teta : Rp. 9.230.190.000,00
Modal kerja : Rp. 39.930.130.000,00
Total Investasi : Rp. 49.160.220.000,00

Analisa Finansial

NPV : Rp. 8.590.345.000
IRR : 23%
BCR : 4,98
BEF : 3.979 Ton
ROI : 2,65
Payaback Period : 5,5 tahun
PI : 1,25

Dari analisis diatas terlihat bahwa usaha pengolahan karet layak dilakukan pada tingkat suku bunga komersial (15 %), dimana terlihat nilai NPV nya positif, nilai B/C rationya 4.98 artinya investasi ini mempunyai manfaat sebesar 4.98 terhadap pendapatan yang diperoleh, nilai IRR 23 % artinya kegiatan investasi/usaha pengolahan karet masih layak dilakukan sampai dengan suku bunga 23 %. Nilai Payback Period sebesar 5,5 artinya seluruh biaya kegiatan investasi dapat dikembalikan dalam jangka waktu 5,5 tahun.

Return on investmen sebesar 2,65 artinya tingkat pengembalian modal dengan hasil yang diinvestasikan layak untuk dikembangkan. Sedangkan break event point sebesar 3.979 ton.

Pasar dan Harga

Harga karet membaik sejak pertengahan 2009 yaitu naik sebesar 13%. Hal ini disebabkan oleh :

  1. Cuaca yang agak lain disebabkan hujan yang tidak biasa di Thailand dan Malaysia membuat berkurangnya produksi. Di Indonesia, gugur daun di selatan katulistiwa menyebabkan pasokan berkurang.
  2. Di sisi permintaan impor di China juga menurun karena di Agustus pabrik ban China lebih memilih membeli karet alam dari persediaan domestik yang lebih murah. Namun dalam bulan September pembelian dari China mulai menguat  Demikian juga pembelian dari negara-negara konsumen lain mulai membaik.
  3. Dalam kurun waktu hingga akhir tahun, mata uang regional menguat terhadap US dolar, yang dampaknya meningkatkan harga dalam US dolar.
  4. Kenaikan harga minyak mentah juga mendorong kenaikan harga komoditi pada umumnya.

Meningkatnya permintaan karet Indonesia pada saat ini dikarenakan harga karet dunia melonjak dan faktor produksi yang tidak diseimbangi dengan konsumsi penggunaan karet sebagai bahan baku untuk produksi karet dan turunannya. Ekspor karet alam Indonesia ke China dari tahun ke tahun terus meningkat kecuali tahun 2000, 35 ribu ton (2002), 137 ribu ton (2003), 46 ribu ton (2004), 108 ribu ton (2005), 198 ribu ton (2006), dan tahun 2007 berkisar 250 ribu ton atau hanya 16 % dari total impor karet negara  pada tahun yang sama sebesar 1,5 juta ton.

Pada tahun 2005, China menduduki peringkat tujuh besar negara pengimpor karet dari Indonesia, namun pada tahun 2007 lalu, China sudah berada pada peringkat tiga besar di bawah Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Pasar Ekspor ke China sangat potensial karena beberapa perusahaan Ban di China sangat membutuhkan Karet sebagai bahan baku utama.